Kebenaran Ilmiah
Salah satu pokok
yang fundamental dan senantiasa aktual dalam pergumulan hidup manusia merupakan
upaya mempertanyakan dan membahasakan kebenaran. Kebenaran boleh dikata
merupakan tema yang tak pernah tuntas untuk diangkat ke ranah akal (dan batin)
manusia. Kebenaran menurut arti leksikalnya adalah keadaan (hal) yang cocok
dengan keadaan (hal) yang sesungguhnya. Itu berarti kebenaran merupakan tanda
yang dihasilkan oleh pemahaman (kesadaran) yang menyatu dalam bahasa logis,
jelas dan terpilah-pilah (Bagus, 1991:86).
Kebenaran
ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana
dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Di samping itu proses untuk
mendapatkannya haruslah melalui tahap-tahap metode ilmiah.
Definisi Kebenaran
Kebenaran
dapat dipahami berdasarkan tiga hal yakni, kualitas pengetahuan,
sifat/karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang
membangun pengetahuan itu, dan nilai kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas
ketergantungan terjadinya pengetahuan itu.
Kualitas
pengetahuan dapat dibagi dalam empat macam, yaitu:
Pengetahuan biasa:
sifatnya subjektif, artinya amat terikat pada subjek yang mengenal; memiliki
sifat selalu benar, sejauh sarana untuk memeperoleh pengetahuan bersifat normal
atau tidak ada penyimpangan.
Pengetahuan ilmiah:
bersifat realtif, artinya kandungan kebenaran ini selalu mendapatkan revisi
atau diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutakhir.
Pengetahuan filsafati:
bersifat absolut-intersubjektif, artinya selalu merupakan pendapat yang selalu
melekat pada pandangan filsafat seorang pemikir filsafat itu serta selalu
mendapt pembenaran dari filsuf kemudian yang mengunakan metodologi pemikiran
yang sama pula.
Pengetahuan agama:
bersifat dogmatis, artinya pernyataan dalam agama selalu dihampiri oleh
keyakinan yang telah tertentu sehingga pernyataan-pernyataan dalam kitab-kitab
suci agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang digunakan
untuk memahaminya itu.
Cara Memperoleh Kebenaran
Kebenaran
dapat diperoleh melalui pengetahuan indrawi, pengetahuan akal budi, pengetahuan
intuitif, dan pengetahuan kepercayaan atau pengetahuan otoritatif.
Nilai kebenaran
Bagi
positivis, benar substantif menjadi identik dengan benar faktual sesuai dengan
empiri. Bagi realis, benar substantif identik dengan benar riil objektif, benar
sesuai dengan konstruk skema rasional tertentu.
Sedangkan
benar epistemologik berbeda, terkait pada pendekatan yang digunakan dalam
mencari kebenaran. Kebenaran positivistik dilandaskan pada diketemukannya
frekuensi tinggi atau variansi besar, sedangkan pada fenomenologik kebenaran
dibuktikan berdasar diketemukan yang esensial, pilah dari yang non-esensial
atau eksemplar, dan sesuai dengan skema moral tertentu.
Dengan
demikian, benar epistemologik menjadi berbeda dengan benar substantif. Benar
positivistik berbeda dengan benar fenomenologik, berbeda dengan benar realisme
metafisik. Bagi positivisme sesuatu itu benar bila ada korespondensi antara
fakta yang satu dengan fakta yang lain. Bagi fenomena baru dapat dinyatakan
benar setelah diuji korespondensinya dengan yang dipercayainya (belief).
Pragmatisme mengakui kebenaran, bila faktual berfungsi (Muhadjir 1998:10)
1. Teori Kebenaran
2. Teori kebenaran korespondensi
Menurut
teori ini, kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai
diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya (Keraf dan Dua M, 2001: 66). Suatu
pernyataan dapat dikatakan benar jika mengandung pernyataan yang sesuai dengan
kenyataan yang ada. Dengan kata lain, kebenaran korespondensi terletak pada
kesesuaian antara subjek dan objek. Teori kebenaran korespondensi ini adalah
teori yang dapat diterima secara luas oleh kaum realis karena pernyataan yang
ada selalu berkait dengan realita.
§ Teori kebenaran koherensi
Kebenaran
ditemukan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah
ada. Suatu pengetahuan, teori, pernyataan, proposisi atau hipotesis dianggap
benar kalau sejalan dengan pengetahuan, teori, proposisi atau hipotesis lainnya,
yaitu kalau proposisi itu meneguhkan dan konsisten dengan proposisi sebelumnya
yang dianggap benar (Keraf dan Dua M, 2001: 88). Dengan kata lain pernyataan
dianggap benar jika pernyataan itu bersifat konsisten dengan pernyataan lain
yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika. Sebagai
contoh, pernyataan “semua manusia pasti akan mati” adalah pernyataan yang
benar, maka jika ada pernyataan bahwa saya pasti akan mati adalah pernyataan
benar karena saya adalah manusia.
§ Teori kebenaran pragmatis
Teori
pragmatis dicetuskan oleh filsuf pragmatis dari Amerika Serikat Charles S.
Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang
berjudul “How to Make our Ideals Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh
beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang
menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli
filsafat ini di antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey
(1859-1952), George Herbert Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis (Suriasumantri,
1984:57)
Bagi
kaum pragmatis kebenaran adalah sama artinya dengan kegunaan. Ide, konsep,
pengetahuan, atau hipotesis yang benar adalah ide yang berguna. Ide yang benar
adalah ide yang paling mampu memungkinkan seseorang (berdasarkan ide itu)
melakukan sesuatu secara paling berhasil dan tepat guna. Berhasil dan berguna
adalah kriteria utama untuk menentukan apakah suatu ide itu benar atau tidak.
Bagi
kaum pragmatis jika ide, pengetahuan atau konsep tidak ada manfaatnya maka ide
tersebut merupakan ide yang tidak benar.
§ Teori kebenaran sintaksis
Teori
ini berpangkal pada keteraturan gramatika yang dipakai oleh suatu
pernyataan tata-bahasa yang melekat. Jadi suatu pernyataan bernilai benar
jika mengikutu aturan gramatika yang baku. Teori ini berkembang diantara para
filsuf bahasa, terutama yang ketat terhadap pemakaian gramatika seperti
Friederich Schleiermacher.
§ Teori kebenaran semantis
Teori
ini dianut oleh faham filsafat analitika bahasa yang dikembangkan pasca
filsafat Bertrand Russel sebagai tokoh pemula filsafat Analitika Bahasa.
Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar ditinjau dari segi arti atau
makna. Hal ini hendak menekankan bahwa suatu pernyataan benar jika pernyataan
tersebut memiliki arti.
§ Teori kebenaran non-deskripsi
Teori
kebenaran non-deskripsi dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme.
Suatu pernyataan dianggap benar tergantung peran dan fungsi pernyataan itu
sendiri. Pengetahuan akan memiliki nilai kebenaran sejauh pernyataan itu memiliki
fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari.
§ Teori kebenaran logis yang berlebihan
Teori
ini mempunyai pemahaman bahwa masalah kebenaran hanya merupakan kekacauan
bahasa dan hal ini mengakibatkan adanya suatu pemborosan karena pada dasarnya
pernyataaan yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logik yang
sama dari masing-masing yang melingkupinya.
Sifat Kebenaran Ilmiah
Kebenaran
ilmiah paling tidak memiliki tiga sifat dasar, yakni:
1. Struktur yang rasional-logis. Kebenaran dapat dicapai berdasarkan kesimpulan
logis atau rasional dari proposisi atau premis tertentu. Karena kebenaran
ilmiah bersifat rasional, maka semua orang yang rasional (yaitu yang dapat
menggunakan akal budinya secara baik), dapat memahami kebenaran ilmiah. Oleh
sebab itu kebenaran ilmiah kemudian dianggap sebagai kebenaran universal. Dalam
memahami pernyataan di depan, perlu membedakan sifat rasional (rationality)
dan sifat masuk akal (reasonable). Sifat rasional terutama berlaku untuk
kebenaran ilmiah, sedangkan masuk akal biasanya berlaku bagi kebenaran tertentu
di luar lingkup pengetahuan. Sebagai contoh: tindakan marah dan menangis atau
semacamnya, dapat dikatakan masuk akal sekalipun tindakan tersebut mungkin
tidak rasional.
2. Isi empiris.
Kebenaran ilmiah perlu diuji dengan kenyataan yang ada, bahkan sebagian besar
pengetahuan dan kebenaran ilmiah, berkaitan dengan kenyataan empiris di alam
ini. Hal ini tidak berarti bahwa dalam kebenaran ilmiah, spekulasi tetap ada
namun sampai tingkat tertentu spekulasi itu bisa dibayangkan sebagai nyata atau
tidak karena sekalipun suatu pernyataan dianggap benar secara logis, perlu
dicek apakah pernyataan tersebut juga benar secara empiris.
3. Dapat diterapkan (pragmatis). Sifat pragmatis, berusaha menggabungkan kedua sifat kebenaran
sebelumnya (logis dan empiris). Maksudnya, jika suatu “pernyataan benar”
dinyatakan “benar” secara logis dan empiris, maka pernyataan tersebut juga
harus berguna bagi kehidupan manusia. Berguna, berarti dapat untuk membantu
manusia memecahkan berbagai persoalan dalam hidupnya.
Kebenaran
ilmiah adalah kebenaran yang sesuai dengan fakta dan mengandung isi
pengetahuan. Pada saat pembuktiannya kebenaran ilmiah harus kembali pada status
ontologis objek dan sikap epistemologis (dengan cara dan sikap bagaimana
pengetahuan tejadi) yang disesuaikan dengan metodologisnya.
Hal
yang penting dan perlu mendapat perhatian dalam hal kebenaran ilmiah yaitu
bahwa kebenaran dalam ilmu harus selalu merupakan hasil persetujuan atau
konvensi dari para ilmuwan pada bidangnya masing-masing.
Kebenaran ditemukan dalam pernyataan-pertanyaan yang sah,
dalam ketidak-tersembunyian (aleteia). Kebenaran adalah kesatuan dari
pengetahuan dengan yag diketahui, kesatuan subjek dengan objek, dan kesatuan
kehendak dan tindakan. Kebenaran sering dianggap sebagai sesuatu yang harus
“ditemukan” atau direbut melalui pembedaan antara kebenaran dengan
ketidakbenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar